Abiyasa, Begawan
ABIYASA, yang bergelar begawan, adalah kakek keluarga Pandawa dan Kurawa. Ayah Abiyasa adalah Begawan Palasara, pertapa terkenal dari Gunung Rahtawu. Ibunya, yang bernama Dewi Durgandini, telah pergi meninggalkannya sejak Abiyasa masih bayi. Ayahnyalah yang memelihara, merawat, membesarkan, dan mendidik’ Abiyasa. Mula-mula mereka hidup berkelana dari negeri satu ke negeri lainnya, tetapi kemudian menetap di Pertapaan Sata Arga (Di pedalangan sering disebut Pertapaan Sapta Arga). Dari Begawan Palasara ia mewarisi bakat sebagai pertapa, selain mendapat pengajaran mengenai ilmu kesusasteraan dan ketatanegaraan.
Abiyasa, Begawan [Solo]
Menurut cerita pewayangan, ketika masih bayi Abiyasa pernah berebut air susu Dewi Durgandini dengan bayi Dewabrata, yang kemudian lebih dikenal dengan Resi Bisma. Waktu itu, Sentanu datang ke Astina bersama Dewabrata, dan minta agar Dewi Durgandini mau membagi air susunya pada Dewabrata. Dewi Durgandini, yang saat itu menjadi permaisuri Palasara tidak berkeberatan. Tetapi ternyata Dewabrata amat rakus, sehingga Abiyasa sering tidak kebagian air susu ibunya sendiri. Ini membuat Palasara, yang ketika itu sudah menjadi raja dan bergelar Prabu Dipakiswara, marah. Karena persoalan air susu itu akhirnya Sentanu berperang tanding dengan Palasara. Batara Narada yang turun dari kahyangan segera datang melerai mereka. Dewa itu mengatakan bahwa sesuai kehendak para dewa Palasara harus mengalah pada Sentanu. Ia harus merelakan takhta Kerajaan Astina dan juga permaisurinya, Dewi Durgandini.
Dengan begitu, ketika masih bayi Abiyasa terpaksa kehilangan ibu.
Cerita mengenai kelahiran Abiyasa ini, wayang Purwa Jawatimuran versinya lain lagi. Pada pedalangan dari Jawa Timur, ibu Abiyasa bernama Dewi Ambarwati. Pada saat Abiyasa lahir, saat ditidurkan, Begawan Palasara melihat sebuah makhluk kecil bergerak-gerak disamping bayi Abiyasa. Setelah diperhatikan, makhluk itu adalah seekor re/ (belatung). Dengan kesaktian yang dimilikinya, Begawan Palasara mengubah ujud set itu menjadi ksatria perkasa yang kemudian diberi nama Seta.
Pada waktu Abiyasa berumur sembilan bulan, Palasara mengajak istrinya pindah ke Pertapaan Sapta Arga. Tetapi Dewi Ambarwati menolak. Karena itu, Palasara pergi sendiri bersama bayi Abiyasa. Tak lama setelah kepergian suami dan anaknya. Dewi Ambarwati sadar akan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Karenanya ia segera menyusul ke Sapta Arga. Di peijalanan Ambarwati bertemu dengan Sentanu yang menggendong anaknya, Dewabrata, yang sedang menangis kehausan. Dewi Ambarwati lalu menyusui bayi Dewabrata. Bahkan kemudian Dewi Ambarwati memelihara Dewabrata sampai dewasa.
Sebagai balas budi karena dibesarkan air susu Dewi Ambarwati, maka Dewabrata yang kemudian lebih dikenal sebagai Resi Bisma, menyerahkan takhta Astina kepada Abiyasa.
Demikian menurut pedalangan di Jawa Timur.
Ketika kemudian menjadi raja Astina, Abiyasa bergelar Prabu Krisnadwipayana, yang artinya ‘manusia berkulit hitam yang lahir di pulau*. Abiyasa memang dilahirkan di sebuah pulau kecil di tengah sungai Yamuna, dan kulitnya memang hitam. Dalam pewayangan, kisah kelahiran Abiyasa adalah sebagai berikut:
Dewi Durgandini yang hidup sebagai wanita pendayung perahu tambangan di Sungai Yamuna, suatu hari mendapat pelanggan seorang pertapa muda. Pertapa itu, Begawan Palasara yang saat itu sedang berkelana, minta agar diseberangkan ke sisi lain sungai itu. Di dalam perahu, Palasara menawarkan jasanya untuk menyembuhkan penyakit kulit yang sedang diderita Durgandini. Ternyata penyakit itu bukan penyakit biasa. Waktu Palasara mengobatinya, Sang Penyakit melawan, sehingga terjadi perkelahian. Perkelahian dahsyat itu menyebabkan teijadinya badai di sekitar perahu itu. Sang Penyakit akhirnya kalah, dan menjelma menjadi seorang pria berwajah buruk, bernama Rajamala. Sementara itu, akibat badai dan serunya perkelahian, perahu tambangan itu pun pecah dua. Kedua pecahan perahu itu menjelma menjadi dua orang pria yang oleh Palasara diberi nama Kencakarupa dan Rupakenca. Dayungnya menjelma menjadi
seorang putri cantik, yang diberi nama Dewi Re-katawati. Keempat manusia jadian itu minta diakui sebagai anak Palasara. Sesudah permintaan itu dikabulkan. oleh Palasara keempatnya disuruh pergi ke Kerajaan Wirata.
Pecahnya perahu itu menyebabkan Palasara dan Dewi Durgandini terdampar di sebuah pulau. Di pulau inilah Durgandini hamil dan beberapa bulan kemudian Abiyasa lahir. (Baca juga Durgandini, Dewi)
Sebagai seorang pertapa sesungguhnya Abiyasa tidak pernah berkeinginan menjadi raja. Lagi pula, ia merasa tidak berhak menduduki takhta Kerajaan Astina, karena ia tahu yang lebih berhak adalah Resi Bisma alias Dewabrata, putra Prabu Sentanu, raja Astina terdahulu. Namun karena Resi Bisma sudah bersumpah tidak akan menduduki tahkta Astina, Abiyasa terpaksa menuruti kehendak ibunya, menjadi raja. Ibu Abiyasa, Dewi Durgandini, sesudah berpisah dengan Palasara menjadi permaisuri Prabu Sentanu.
Sebelum Abiyasa naik takhta, yang menjadi raja Astina adalah Citranggada dan Wicitrawirya. Namun kedua putra Dewi Durgandini dari Prabu Sentanu itu tidak berumur panjang. Keduanya mati muda.
Sebenarnya, selain mengemban tugas menjadi raja Astina, secara langsung Abiyasa juga mempunyai kewajiban untuk melanjutkan garis keturunan keluarga Barata atau keluarga Kuru. Kedua tugas dari ibunya itu ditunaikannya dengan baik. Selain mengisi lowongan takhta Kerajaan Astina, oleh Dewi Durgandini, Abiyasa juga disuruh mengawini janda-janda kedua adik tirinya. Dengan demikian ia telah membuahkan anak-anak pelanjut keturunan sebagaimana dikehendaki ibunya.
Setelah usianya lanjut, dan setelah pewaris tahta Astina ada, Abiyasa meletakkan jabatan sebagai raja, pergi kembali ke Gunung Rahtawu untuk menjadi pertapa lagi. Kepada anak-anak dan cucu-cucunya ia selalu bersikap adil, walaupun ia sadar para Kurawa sering berbuat tidak jujur kepada para Pandawa.
Kedua janda adik tirinya yang dikawini oleh Abiyasa itu bernama Dewi Ambika dan Ambalika. Keduanya adalah putri Prabu Darmamuka dari Kerajaan Gi-yantipura. Mulanya kedua putri itu sekaligus menjadi permaisuri Prabu Citranggada. Setelah Citranggada meninggal, keduanya diperistri Wicitrawirya.Dan, sewaktu Prabu Wicitrawirya juga meninggal, keduanya lalu menjadi istri Abiyasa. Tetapi setelah perkawinan itu. di luar kemauan Abiyasa pula, ia mengambil seorang dayang istana sebagai selirnya. Nama dayang itu adalah Drati.
Dari ketiga wanita yang diperistrinya itu masing-masing Abiyasa mendapat seorang putra. Ketiga putra itu diberi nama Drestarastra, Pandu Dewanata, dan Yama Widura. Ketiganya cacat tubuhnya. Drestarastra yang tunanetra sejak lahir kemudian menurunkan para Kurawa, sedangkan Pandu Dewanata yang cacat pada lehernya serta berwajah pucat, menurunkan para Pandawa. Putra Abiyasa yang bungsu, Yama Widura, panjang sebelah kakinya, dan kemudian menjadi penasihat Kerajaan Astina.
Cacat tubuh yang diderita ketiga anaknya itu sebenarnya disebabkan karena kutukan dewa, sebab ketiga istrinya merasa jijik ketika harus melayani Abiyasa di tempat tidur. Walaupun pribadinya terpuji dan selalu bersikap lembut, Abiyasa memang berwajah buruk, kulitnya kasar, dan hitam. Penampilan badaniah
Abiyasa memang sangat berbeda dengan suami-suami kedua putri itu dulu. Baik Prabu Citranggada maupun Wicitrawirya, keduanya tampan dan gagah.
Dewi Ambika selaku istri pertama selalu memejamkan matanya pada saat harus melayani suaminya di ranjang. Akibatnya, ia dikutuk para dewa sehingga anak yang kemudian dilahirkannya buta. Anak itu diberi nama Destarata atau Drestarastra. Istri Abiyasa yang kedua, Dewi Ambalika, dengan wajah pucat selalu memalingkan muka bila bertugas selaku istri. Wajah putri itu pun selalu pucat di tempat tidur. Ia pun dikutuk para dewa sehingga bayi yang dilahirkannya mem-punyai leher kaku dan pucat wajahnya. Bayi itu diberi nama Pandu Dewanata.
Karena enggan melayani suaminya di tempat tidur, kedua istri Abiyasa itu sepakat untuk menyelundupkan seorang dayang istana bernama Drati ke kamar peraduan Abiyasa. Ternyata dayang Drati, yang kemudian diambil sebagai selir pun tidak ikhlas dalam melayani Abiyasa sebagai suaminya. Ia selalu menggelinjangkan kakinya bila sedang melayani Abiyasa.
Karena itu ia juga dikutuk dewa sehingga bayi laki-laki yang dilahirkannya cacat. Putra Drati diberi nama Yama Widura, yang panjang sebelah kakinya. ***)
Karena Drestarastra tunanetra, takhta Astina diwariskan kepada anak yang kedua, Pandu Dewanata. Keputusan ini diambil bukan karena Abiyasa lebih sayang pada Pandu daripada kakaknya, tetapi semata-mata karena kepentingan kerajaan. Seorang raja tunanetra, menurut pertimbangan Abiyasa tidak akan dapat menjalankan pemerintahan dengan baik. Keputusan Abiyasa ini juga disetujui oleh Dewi Durgandini, ibunya. Dan, terbukti keputusan Abiyasa itu memang tepat. Pandu ternyata bisa memerintah Astina dengan baik, adil, dan bijaksana.
Abiyasa berumur sangat panjang. Setelah melepaskan mahkota dan hidup sebagai pertapa, ia masih selalu memperhatikan keadaan Kerajaan Astina. Dengan senang hati Abiyasa memberikan nasihat-nasihatnya pada anak cucunya bila diminta.
Sesepuh keluarga Kurawa dan Pandawa itu dapat menyaksikan upacara penobatan cicitnya, Parikesit, menjadi raja Astina. Bahkan gelar yang digunakan oleh Parikesit setelah ia menjadi raja, juga Prabu Krisnadwipayana, rumggak semi ***) memakai nama kakek buyutnya.
Abiyasa meninggal secara sempurna, yang dalam bahasa pewayangan disebut moksa. Waktu akan masuk ke sorga, ia menuntut pada para dewa agar raganya juga dibolehkan ikut. Tuntutan itu dikabulkan, dan menjemput raga Abiyasa dengan kereta cahaya.
Tentang kematian Abiyasa ini, sebuah versi Mahabarata menceritakan sebagai berikut:
Suatu saat mendaratlah di alun-alun Astina, sebuah Kretacahya, yakni kereta cahaya. Tidak seorang pun kuat bertahan terhadap hawa panas yang memancar dari dalam kereta itu. Semua keluarga Pandawa mencoba, tetapi mereka pun tidak tahan. Akhirnya Prabu Puntadewa mohon agar Begawan Abiyasa mencobanya. Waktu kakek para Pandawa itu berjalan keluar dari keraton dan melihat Kretacahya itu, ia segera mahfum bahwa itulah kendaraan yang menjemputnya pergi ke alam abadi. Maka sang Begawan lalu memberikan pesan-pesan terakhirnya kepada sekalian anak cucu, terutama kepada Prabu Puntadewa dan Prabu Parikesit, tentang bagaimana memerintah sebuah negara dengan baik. Sesudah itu, ia pun masuk ke dalam kereta cahaya itu, yang segera membawanya ke langit, ke alam kematian abadi.
Mengenai kapan saat moksanya Abiyasa, sumber pewayangan maupun Mahabarata mempunyai data yang berbeda.
Menurut pewayangan, Abiyasa moksa setelah Parikesit, anak Abimanyu berumur 35 hari. Untuk mendapatkan berkah restu dari kakek buyutnya, pada saat
upacara selapanan Parikesit dipangku oleh Abiyasa, yang sengaja datang ke Istana Astina dari Pertapaan Wukirahtawu di Sata Arga. Beberapa saat setelah memangku buyutnya itu, Abiyasa merasa ajalnya sudah tiba, namun ia tidak mau berangkat ke sorga bilamana tidak disertai oleh jazadnya. Para dewa mengabulkan tuntutan itu, dan mengirim kereta cahaya guna menjemputnya. Moksanya Abiyasa disaksikan segenap keluarga Pandawa, Prabu Kresna dan Prabu Baladewa.
Sementara itu menurut Adiwangsawatarana Parwa, yang merupakan bagian dari Mahabarata, Abiyasa moksa pada zaman pemerintahan Prabu Janamejaya, cucu Parikesit. Peristiwa moksanya juga terjadi di Istana Astina.
Abiyasa atau Wyasa inilah yang menulis Kitab Mahabarata, yang di kemudian hari oleh para pujangga Indonesia diadaptasikan menjadi bahan cerita wayang. Suku Bangsa Jawa, juga mengenal Abiyasa dengan sebutan Empu Wiyasa.
Selain bergelar Prabu Krisnadwipayana, Abiyasa juga mempunyai beberapa nama yang lain. Nama Dewayana diberikan kepadanya karena ia memiliki sifat-sifat seperti dewa. Ia pun disebut Sutiksnaprawa, yang artinya ‘orang yang arif bijaksana*. Gelar lainnya adalah Rancakaprawa yang artinya suka menolong mereka yang sedang ditimpa kemalangan. Nama Abiyasa sendiri mengandung arti ‘orang yang selalu dekat dengan sifat-sifat yang terpuji.’ Abi atau abhi artinya dekat, sedangkan yasa artinya sifat yang terpuji. Sedangkan dalam Wayang Golek Purwa Sunda, Abiyasa juga disebut Subyasa, dan Wijana.
Pada lakon-lakon pewayangan, termasuk lakon carangan, Begawan Abiyasa lebih sering terlibat dalam alur cerita. Banyak lakon yang menceritakan bagaimana para Pandawa atau putra mereka minta petunjuk, nasihat, atau arahan dari pertapa tua ini. Abiyasa juga aktif memberikan nasihat, bahkan juga peringatan pada para Kurawa dan Prabu Drestarastra mengenai sikap mereka yang dinilainya kurang adil,
kurang jujur, dan serakah. Drestarastra dinilai terlalu lemah pendiriannya, terlalu menuruti bujukan serta hasutan istri dan anak-anaknya. Karena merasa sarannya diabaikan dan kata-katanya tidak didengarkan, pernah keluar kutukan dari Begawan Abiyasa pada anak sulungnya itu.
Katanya: “Kalau Drestarastra dan Gendari masih juga selalu memanjakan anak-anaknya dan melindungi perbuatan jahatnya, maka kelak ia dan istrinya akan mati diinjak-injak anaknya sendiri…”
Kata-kata bertuah ini, dalam cerita pewayangan, kemudian ternyata terbukti. (Baca Drestarastra, Prabu)
Kutukan itu diucapkan tatkala Abiyasa mendengar berita tentang pengusiran para Pandawa dan Dewi Drupadi dari istana dan dibuang ke hutan sesudah mereka kalah beijudi.
Tetapi sebagian dalang menyebutkan bahwa kutukan itu diucapkan beberapa saat sesudah Ahi sadar dari pingsan, sesudah para Kurawa menr? dirinya hingga roboh dan pingsan, dalam lak Rebutan Lenga Tala. (Baca Lenga Tala)
Sewaktu Pandu Dewanata meninggal akibat kutukan Resi Kimindama, Abiyasa tahu bahwa Batara Guru menjebloskan putranya itu ke neraka. Ia marah dan naik ke kahyangan, menyampaikan protesnya pada Batara Guru yang dianggapnya tidak adil. Pemuka dewa itu tetap pada pendiriannya sehingga Abiyasa berucap, bersedia melakukan apa saja untuk menebus dosa-dosa Pandu Dewanata, anaknya.
Kemarahan Abiyasa akhirnya diredakan oleh Batara Endra, dengan menyatakan bahwa yang dapat mengentaskan Pandu Dewanata dari neraka hanyalah anak-anaknya. Bukan bapaknya.
Kitab Mahabarata yang asli adalah mahakarya Begawan Abiyasa sebagai pujangga sastra. Buku, yang kemudian dianggap sebagai salah satu Buku Suci bagi penganut agama Hindu, itu terdiri atas 18 parwa, dan lebih dari 7.000 seloka. Dalam menuliskan karya besar ini, Abiyasa dibantu oleh Batara Ganesa, dewa yang berkepala gajah, dan dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan dan seni sastra.
Abiyasa, Begawan [Solo]
Menurut cerita pewayangan, ketika masih bayi Abiyasa pernah berebut air susu Dewi Durgandini dengan bayi Dewabrata, yang kemudian lebih dikenal dengan Resi Bisma. Waktu itu, Sentanu datang ke Astina bersama Dewabrata, dan minta agar Dewi Durgandini mau membagi air susunya pada Dewabrata. Dewi Durgandini, yang saat itu menjadi permaisuri Palasara tidak berkeberatan. Tetapi ternyata Dewabrata amat rakus, sehingga Abiyasa sering tidak kebagian air susu ibunya sendiri. Ini membuat Palasara, yang ketika itu sudah menjadi raja dan bergelar Prabu Dipakiswara, marah. Karena persoalan air susu itu akhirnya Sentanu berperang tanding dengan Palasara. Batara Narada yang turun dari kahyangan segera datang melerai mereka. Dewa itu mengatakan bahwa sesuai kehendak para dewa Palasara harus mengalah pada Sentanu. Ia harus merelakan takhta Kerajaan Astina dan juga permaisurinya, Dewi Durgandini.
Dengan begitu, ketika masih bayi Abiyasa terpaksa kehilangan ibu.
Cerita mengenai kelahiran Abiyasa ini, wayang Purwa Jawatimuran versinya lain lagi. Pada pedalangan dari Jawa Timur, ibu Abiyasa bernama Dewi Ambarwati. Pada saat Abiyasa lahir, saat ditidurkan, Begawan Palasara melihat sebuah makhluk kecil bergerak-gerak disamping bayi Abiyasa. Setelah diperhatikan, makhluk itu adalah seekor re/ (belatung). Dengan kesaktian yang dimilikinya, Begawan Palasara mengubah ujud set itu menjadi ksatria perkasa yang kemudian diberi nama Seta.
Pada waktu Abiyasa berumur sembilan bulan, Palasara mengajak istrinya pindah ke Pertapaan Sapta Arga. Tetapi Dewi Ambarwati menolak. Karena itu, Palasara pergi sendiri bersama bayi Abiyasa. Tak lama setelah kepergian suami dan anaknya. Dewi Ambarwati sadar akan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Karenanya ia segera menyusul ke Sapta Arga. Di peijalanan Ambarwati bertemu dengan Sentanu yang menggendong anaknya, Dewabrata, yang sedang menangis kehausan. Dewi Ambarwati lalu menyusui bayi Dewabrata. Bahkan kemudian Dewi Ambarwati memelihara Dewabrata sampai dewasa.
Sebagai balas budi karena dibesarkan air susu Dewi Ambarwati, maka Dewabrata yang kemudian lebih dikenal sebagai Resi Bisma, menyerahkan takhta Astina kepada Abiyasa.
Demikian menurut pedalangan di Jawa Timur.
Ketika kemudian menjadi raja Astina, Abiyasa bergelar Prabu Krisnadwipayana, yang artinya ‘manusia berkulit hitam yang lahir di pulau*. Abiyasa memang dilahirkan di sebuah pulau kecil di tengah sungai Yamuna, dan kulitnya memang hitam. Dalam pewayangan, kisah kelahiran Abiyasa adalah sebagai berikut:
Dewi Durgandini yang hidup sebagai wanita pendayung perahu tambangan di Sungai Yamuna, suatu hari mendapat pelanggan seorang pertapa muda. Pertapa itu, Begawan Palasara yang saat itu sedang berkelana, minta agar diseberangkan ke sisi lain sungai itu. Di dalam perahu, Palasara menawarkan jasanya untuk menyembuhkan penyakit kulit yang sedang diderita Durgandini. Ternyata penyakit itu bukan penyakit biasa. Waktu Palasara mengobatinya, Sang Penyakit melawan, sehingga terjadi perkelahian. Perkelahian dahsyat itu menyebabkan teijadinya badai di sekitar perahu itu. Sang Penyakit akhirnya kalah, dan menjelma menjadi seorang pria berwajah buruk, bernama Rajamala. Sementara itu, akibat badai dan serunya perkelahian, perahu tambangan itu pun pecah dua. Kedua pecahan perahu itu menjelma menjadi dua orang pria yang oleh Palasara diberi nama Kencakarupa dan Rupakenca. Dayungnya menjelma menjadi
seorang putri cantik, yang diberi nama Dewi Re-katawati. Keempat manusia jadian itu minta diakui sebagai anak Palasara. Sesudah permintaan itu dikabulkan. oleh Palasara keempatnya disuruh pergi ke Kerajaan Wirata.
Pecahnya perahu itu menyebabkan Palasara dan Dewi Durgandini terdampar di sebuah pulau. Di pulau inilah Durgandini hamil dan beberapa bulan kemudian Abiyasa lahir. (Baca juga Durgandini, Dewi)
Sebagai seorang pertapa sesungguhnya Abiyasa tidak pernah berkeinginan menjadi raja. Lagi pula, ia merasa tidak berhak menduduki takhta Kerajaan Astina, karena ia tahu yang lebih berhak adalah Resi Bisma alias Dewabrata, putra Prabu Sentanu, raja Astina terdahulu. Namun karena Resi Bisma sudah bersumpah tidak akan menduduki tahkta Astina, Abiyasa terpaksa menuruti kehendak ibunya, menjadi raja. Ibu Abiyasa, Dewi Durgandini, sesudah berpisah dengan Palasara menjadi permaisuri Prabu Sentanu.
Sebelum Abiyasa naik takhta, yang menjadi raja Astina adalah Citranggada dan Wicitrawirya. Namun kedua putra Dewi Durgandini dari Prabu Sentanu itu tidak berumur panjang. Keduanya mati muda.
Sebenarnya, selain mengemban tugas menjadi raja Astina, secara langsung Abiyasa juga mempunyai kewajiban untuk melanjutkan garis keturunan keluarga Barata atau keluarga Kuru. Kedua tugas dari ibunya itu ditunaikannya dengan baik. Selain mengisi lowongan takhta Kerajaan Astina, oleh Dewi Durgandini, Abiyasa juga disuruh mengawini janda-janda kedua adik tirinya. Dengan demikian ia telah membuahkan anak-anak pelanjut keturunan sebagaimana dikehendaki ibunya.
Setelah usianya lanjut, dan setelah pewaris tahta Astina ada, Abiyasa meletakkan jabatan sebagai raja, pergi kembali ke Gunung Rahtawu untuk menjadi pertapa lagi. Kepada anak-anak dan cucu-cucunya ia selalu bersikap adil, walaupun ia sadar para Kurawa sering berbuat tidak jujur kepada para Pandawa.
Kedua janda adik tirinya yang dikawini oleh Abiyasa itu bernama Dewi Ambika dan Ambalika. Keduanya adalah putri Prabu Darmamuka dari Kerajaan Gi-yantipura. Mulanya kedua putri itu sekaligus menjadi permaisuri Prabu Citranggada. Setelah Citranggada meninggal, keduanya diperistri Wicitrawirya.Dan, sewaktu Prabu Wicitrawirya juga meninggal, keduanya lalu menjadi istri Abiyasa. Tetapi setelah perkawinan itu. di luar kemauan Abiyasa pula, ia mengambil seorang dayang istana sebagai selirnya. Nama dayang itu adalah Drati.
Dari ketiga wanita yang diperistrinya itu masing-masing Abiyasa mendapat seorang putra. Ketiga putra itu diberi nama Drestarastra, Pandu Dewanata, dan Yama Widura. Ketiganya cacat tubuhnya. Drestarastra yang tunanetra sejak lahir kemudian menurunkan para Kurawa, sedangkan Pandu Dewanata yang cacat pada lehernya serta berwajah pucat, menurunkan para Pandawa. Putra Abiyasa yang bungsu, Yama Widura, panjang sebelah kakinya, dan kemudian menjadi penasihat Kerajaan Astina.
Cacat tubuh yang diderita ketiga anaknya itu sebenarnya disebabkan karena kutukan dewa, sebab ketiga istrinya merasa jijik ketika harus melayani Abiyasa di tempat tidur. Walaupun pribadinya terpuji dan selalu bersikap lembut, Abiyasa memang berwajah buruk, kulitnya kasar, dan hitam. Penampilan badaniah
Abiyasa memang sangat berbeda dengan suami-suami kedua putri itu dulu. Baik Prabu Citranggada maupun Wicitrawirya, keduanya tampan dan gagah.
Dewi Ambika selaku istri pertama selalu memejamkan matanya pada saat harus melayani suaminya di ranjang. Akibatnya, ia dikutuk para dewa sehingga anak yang kemudian dilahirkannya buta. Anak itu diberi nama Destarata atau Drestarastra. Istri Abiyasa yang kedua, Dewi Ambalika, dengan wajah pucat selalu memalingkan muka bila bertugas selaku istri. Wajah putri itu pun selalu pucat di tempat tidur. Ia pun dikutuk para dewa sehingga bayi yang dilahirkannya mem-punyai leher kaku dan pucat wajahnya. Bayi itu diberi nama Pandu Dewanata.
Karena enggan melayani suaminya di tempat tidur, kedua istri Abiyasa itu sepakat untuk menyelundupkan seorang dayang istana bernama Drati ke kamar peraduan Abiyasa. Ternyata dayang Drati, yang kemudian diambil sebagai selir pun tidak ikhlas dalam melayani Abiyasa sebagai suaminya. Ia selalu menggelinjangkan kakinya bila sedang melayani Abiyasa.
Karena itu ia juga dikutuk dewa sehingga bayi laki-laki yang dilahirkannya cacat. Putra Drati diberi nama Yama Widura, yang panjang sebelah kakinya. ***)
Karena Drestarastra tunanetra, takhta Astina diwariskan kepada anak yang kedua, Pandu Dewanata. Keputusan ini diambil bukan karena Abiyasa lebih sayang pada Pandu daripada kakaknya, tetapi semata-mata karena kepentingan kerajaan. Seorang raja tunanetra, menurut pertimbangan Abiyasa tidak akan dapat menjalankan pemerintahan dengan baik. Keputusan Abiyasa ini juga disetujui oleh Dewi Durgandini, ibunya. Dan, terbukti keputusan Abiyasa itu memang tepat. Pandu ternyata bisa memerintah Astina dengan baik, adil, dan bijaksana.
Abiyasa berumur sangat panjang. Setelah melepaskan mahkota dan hidup sebagai pertapa, ia masih selalu memperhatikan keadaan Kerajaan Astina. Dengan senang hati Abiyasa memberikan nasihat-nasihatnya pada anak cucunya bila diminta.
Sesepuh keluarga Kurawa dan Pandawa itu dapat menyaksikan upacara penobatan cicitnya, Parikesit, menjadi raja Astina. Bahkan gelar yang digunakan oleh Parikesit setelah ia menjadi raja, juga Prabu Krisnadwipayana, rumggak semi ***) memakai nama kakek buyutnya.
Abiyasa meninggal secara sempurna, yang dalam bahasa pewayangan disebut moksa. Waktu akan masuk ke sorga, ia menuntut pada para dewa agar raganya juga dibolehkan ikut. Tuntutan itu dikabulkan, dan menjemput raga Abiyasa dengan kereta cahaya.
Tentang kematian Abiyasa ini, sebuah versi Mahabarata menceritakan sebagai berikut:
Suatu saat mendaratlah di alun-alun Astina, sebuah Kretacahya, yakni kereta cahaya. Tidak seorang pun kuat bertahan terhadap hawa panas yang memancar dari dalam kereta itu. Semua keluarga Pandawa mencoba, tetapi mereka pun tidak tahan. Akhirnya Prabu Puntadewa mohon agar Begawan Abiyasa mencobanya. Waktu kakek para Pandawa itu berjalan keluar dari keraton dan melihat Kretacahya itu, ia segera mahfum bahwa itulah kendaraan yang menjemputnya pergi ke alam abadi. Maka sang Begawan lalu memberikan pesan-pesan terakhirnya kepada sekalian anak cucu, terutama kepada Prabu Puntadewa dan Prabu Parikesit, tentang bagaimana memerintah sebuah negara dengan baik. Sesudah itu, ia pun masuk ke dalam kereta cahaya itu, yang segera membawanya ke langit, ke alam kematian abadi.
Mengenai kapan saat moksanya Abiyasa, sumber pewayangan maupun Mahabarata mempunyai data yang berbeda.
Menurut pewayangan, Abiyasa moksa setelah Parikesit, anak Abimanyu berumur 35 hari. Untuk mendapatkan berkah restu dari kakek buyutnya, pada saat
upacara selapanan Parikesit dipangku oleh Abiyasa, yang sengaja datang ke Istana Astina dari Pertapaan Wukirahtawu di Sata Arga. Beberapa saat setelah memangku buyutnya itu, Abiyasa merasa ajalnya sudah tiba, namun ia tidak mau berangkat ke sorga bilamana tidak disertai oleh jazadnya. Para dewa mengabulkan tuntutan itu, dan mengirim kereta cahaya guna menjemputnya. Moksanya Abiyasa disaksikan segenap keluarga Pandawa, Prabu Kresna dan Prabu Baladewa.
Sementara itu menurut Adiwangsawatarana Parwa, yang merupakan bagian dari Mahabarata, Abiyasa moksa pada zaman pemerintahan Prabu Janamejaya, cucu Parikesit. Peristiwa moksanya juga terjadi di Istana Astina.
Abiyasa atau Wyasa inilah yang menulis Kitab Mahabarata, yang di kemudian hari oleh para pujangga Indonesia diadaptasikan menjadi bahan cerita wayang. Suku Bangsa Jawa, juga mengenal Abiyasa dengan sebutan Empu Wiyasa.
Selain bergelar Prabu Krisnadwipayana, Abiyasa juga mempunyai beberapa nama yang lain. Nama Dewayana diberikan kepadanya karena ia memiliki sifat-sifat seperti dewa. Ia pun disebut Sutiksnaprawa, yang artinya ‘orang yang arif bijaksana*. Gelar lainnya adalah Rancakaprawa yang artinya suka menolong mereka yang sedang ditimpa kemalangan. Nama Abiyasa sendiri mengandung arti ‘orang yang selalu dekat dengan sifat-sifat yang terpuji.’ Abi atau abhi artinya dekat, sedangkan yasa artinya sifat yang terpuji. Sedangkan dalam Wayang Golek Purwa Sunda, Abiyasa juga disebut Subyasa, dan Wijana.
Pada lakon-lakon pewayangan, termasuk lakon carangan, Begawan Abiyasa lebih sering terlibat dalam alur cerita. Banyak lakon yang menceritakan bagaimana para Pandawa atau putra mereka minta petunjuk, nasihat, atau arahan dari pertapa tua ini. Abiyasa juga aktif memberikan nasihat, bahkan juga peringatan pada para Kurawa dan Prabu Drestarastra mengenai sikap mereka yang dinilainya kurang adil,
kurang jujur, dan serakah. Drestarastra dinilai terlalu lemah pendiriannya, terlalu menuruti bujukan serta hasutan istri dan anak-anaknya. Karena merasa sarannya diabaikan dan kata-katanya tidak didengarkan, pernah keluar kutukan dari Begawan Abiyasa pada anak sulungnya itu.
Katanya: “Kalau Drestarastra dan Gendari masih juga selalu memanjakan anak-anaknya dan melindungi perbuatan jahatnya, maka kelak ia dan istrinya akan mati diinjak-injak anaknya sendiri…”
Kata-kata bertuah ini, dalam cerita pewayangan, kemudian ternyata terbukti. (Baca Drestarastra, Prabu)
Kutukan itu diucapkan tatkala Abiyasa mendengar berita tentang pengusiran para Pandawa dan Dewi Drupadi dari istana dan dibuang ke hutan sesudah mereka kalah beijudi.
Tetapi sebagian dalang menyebutkan bahwa kutukan itu diucapkan beberapa saat sesudah Ahi sadar dari pingsan, sesudah para Kurawa menr? dirinya hingga roboh dan pingsan, dalam lak Rebutan Lenga Tala. (Baca Lenga Tala)
Sewaktu Pandu Dewanata meninggal akibat kutukan Resi Kimindama, Abiyasa tahu bahwa Batara Guru menjebloskan putranya itu ke neraka. Ia marah dan naik ke kahyangan, menyampaikan protesnya pada Batara Guru yang dianggapnya tidak adil. Pemuka dewa itu tetap pada pendiriannya sehingga Abiyasa berucap, bersedia melakukan apa saja untuk menebus dosa-dosa Pandu Dewanata, anaknya.
Kemarahan Abiyasa akhirnya diredakan oleh Batara Endra, dengan menyatakan bahwa yang dapat mengentaskan Pandu Dewanata dari neraka hanyalah anak-anaknya. Bukan bapaknya.
Kitab Mahabarata yang asli adalah mahakarya Begawan Abiyasa sebagai pujangga sastra. Buku, yang kemudian dianggap sebagai salah satu Buku Suci bagi penganut agama Hindu, itu terdiri atas 18 parwa, dan lebih dari 7.000 seloka. Dalam menuliskan karya besar ini, Abiyasa dibantu oleh Batara Ganesa, dewa yang berkepala gajah, dan dikenal sebagai dewa ilmu pengetahuan dan seni sastra.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home