Gus Mus: Beragama Seperti Anak Sekolahan
Wakil Rais Am Pengurus Besar Nahlatul Ulama KH Mustofa Bisri
mengingatkan masyarakat untuk tidak gerah menghadapi gerakan Islam
transnasional.
Menurutnya, mereka berulah karena belum memahami agama secara utuh. “Ibarat anak sekolahan, baru tingkat SMA sudah mengaku jadi profesor,” sindir Gus Mus, panggilan KH Mustofa Bisri.
“Memahami agama itu, melalui tahapan yang berjenjang dan memiliki guru yang bisa mempertanggungjawabkan keilmuannya,” tuturnya saat menyampaikan mauidloh hasanah pada peringatan Hari Lahir (Harlah) NU ke-85 tingkat Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Paguyangan di lapangan desa Kretek Selasa (11/10).
Sekarang, lanjutnya, banyak bermunculan anak-anak muda yang belum matang dalam beragama tiba-tiba berlagak gaya kiai. Bahkan dengan lantang berani mengharamkan dan mengkafirkan orang lain.
“Mereka sepertinya telah mengkapling-kapling surga,” kata pengasuh pesantren Raudhatut Tholibin Rembang itu.
Lebih parah lagi, lanjutnya, mereka tidak mau memperdalam keilmuannya lebih lanjut, mereka tidak mau ngaji. Atas kedangkalan ilmunya itu, mereka selalu bikin usrek di masyarakat. Bahkan kerap bertindak anarkis dan teror. Untuk itu, masyarakat jangan gampang tergoda dengan ulah mereka.
“Dia paling-paling hanya belajar lewat majalah-majalah yang ulasan dan pemahaman terlalu dangkal. Biasa, kalau air beriak tanda tak dalam,” terangnya.
Menurut Gus Mus, ada banyak jenis kiai di era kini. Pertama, ada Kiai buatan masyarakat yang dilahirkan oleh masyarakat dan bermanfaat untuk masyarakat. Kiai ini yang harus kita teladani karena merupakan pewaris para nabi. Ada pula kiai buatan pemerintah yang biasanya tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), kiai ini seringkali bikin fatwa. Ada juga kiai buatan parpol, yang sorbannya selalu baru.
Juga ada kiai buatan pers (wartawan). Kiai ini sangat terkenal karena selalu muncul di televisi dan koran. Dan yang terakhir, kiai buatan sendiri. Maksudnya, mengaku menjadi kiai dengan cara memaki peci putih, sorban panjang dan jubah serta pandai berakting.
Dia juga berpesan, agar Nahdliyin (warga NU) mengedepankan kemaslahatan bersama. Jangan terlalu berlebih-lebihan. Bila sesuatu dilakukan secara kelewat batas maka dikategorikan sebagai orang ekstrim. Ibarat makan, kalau makan sepiring itu wajar dan patut. Tapi kalau satu orang makan nasi satu bakul maka ekstrim.
“Warga NU itu orang Indonesia yang beragama Islam, jadi bukan umat islam yang numpang hidup di Indonesia,” kata Gus Mus.
Nurdin M Top dan DR Azhari yang teroris itu adalah orang-orang Islam yang numpang di Indonesia. Jadi merasa tidak memiliki rasa kebangsaan Indonesia. Makanya dengan tidak bertanggungjawab mengebom Indonesia.
Pendiri NU, KH Hasyim Asy Ari adalah juga pendiri Republik yang diteruskan oleh Wahab Hasbullah. Setelah kemerdekaan Wahid Hasyim dan Abdurrahman Wahid adalah tokoh-tokoh Nasionalis dan patriot sejati. “Maka siapapun yang mengusik Indonesia sama saja mengusik NU, dan NU harus bangkit,” ajaknya.
Setelah 85 tahun NU berdiri berada pada titik kemapanan. Pada usia ini selain banyak mendapatkan godaan dan tantangan juga pada masa yang melenakan. “Kenapa banyak yang tidak bangkit, karena banyak yang terlena dengan asyik dalam tidurnya,” seloroh Gus Mus.
Untuk itu, dia mengajak seluruh warga NU untuk kembali bangkit terus. Perintisan generasi terus ditumbuhkembangkan demi tetap tegaknya paham ahlus sunah waljamaah dan tetap kokohnya NKRI.
Sementara Pkengasuh Pesantren Al Falah KH Mansyur Tarsudi mengajak pengurus NU kembali menghidupkan laelatul ijtima. Sehingga problema kehidupan Nahdliyin, bangsa dan negara bisa terpecahkan hanya ditingkatan anak ranting maupun ranting (desa).
Hadir dalam kesempatan tersebut ribuan warga Kecamatan Paguyangan, Rais Suriyah Pengurus Cabang (PC) NU Kabupaten Brebes KH Aminudin Mashudi dan Katib KH Nuriman Ali, Wakil Ketua Tanfidziyah PC NU Drs KH Sodikin Rachman, Sekretaris PCNU M Ali Nurdin dan Lakhmudin.
Menurutnya, mereka berulah karena belum memahami agama secara utuh. “Ibarat anak sekolahan, baru tingkat SMA sudah mengaku jadi profesor,” sindir Gus Mus, panggilan KH Mustofa Bisri.
“Memahami agama itu, melalui tahapan yang berjenjang dan memiliki guru yang bisa mempertanggungjawabkan keilmuannya,” tuturnya saat menyampaikan mauidloh hasanah pada peringatan Hari Lahir (Harlah) NU ke-85 tingkat Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Paguyangan di lapangan desa Kretek Selasa (11/10).
Sekarang, lanjutnya, banyak bermunculan anak-anak muda yang belum matang dalam beragama tiba-tiba berlagak gaya kiai. Bahkan dengan lantang berani mengharamkan dan mengkafirkan orang lain.
“Mereka sepertinya telah mengkapling-kapling surga,” kata pengasuh pesantren Raudhatut Tholibin Rembang itu.
Lebih parah lagi, lanjutnya, mereka tidak mau memperdalam keilmuannya lebih lanjut, mereka tidak mau ngaji. Atas kedangkalan ilmunya itu, mereka selalu bikin usrek di masyarakat. Bahkan kerap bertindak anarkis dan teror. Untuk itu, masyarakat jangan gampang tergoda dengan ulah mereka.
“Dia paling-paling hanya belajar lewat majalah-majalah yang ulasan dan pemahaman terlalu dangkal. Biasa, kalau air beriak tanda tak dalam,” terangnya.
Menurut Gus Mus, ada banyak jenis kiai di era kini. Pertama, ada Kiai buatan masyarakat yang dilahirkan oleh masyarakat dan bermanfaat untuk masyarakat. Kiai ini yang harus kita teladani karena merupakan pewaris para nabi. Ada pula kiai buatan pemerintah yang biasanya tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI), kiai ini seringkali bikin fatwa. Ada juga kiai buatan parpol, yang sorbannya selalu baru.
Juga ada kiai buatan pers (wartawan). Kiai ini sangat terkenal karena selalu muncul di televisi dan koran. Dan yang terakhir, kiai buatan sendiri. Maksudnya, mengaku menjadi kiai dengan cara memaki peci putih, sorban panjang dan jubah serta pandai berakting.
Dia juga berpesan, agar Nahdliyin (warga NU) mengedepankan kemaslahatan bersama. Jangan terlalu berlebih-lebihan. Bila sesuatu dilakukan secara kelewat batas maka dikategorikan sebagai orang ekstrim. Ibarat makan, kalau makan sepiring itu wajar dan patut. Tapi kalau satu orang makan nasi satu bakul maka ekstrim.
“Warga NU itu orang Indonesia yang beragama Islam, jadi bukan umat islam yang numpang hidup di Indonesia,” kata Gus Mus.
Nurdin M Top dan DR Azhari yang teroris itu adalah orang-orang Islam yang numpang di Indonesia. Jadi merasa tidak memiliki rasa kebangsaan Indonesia. Makanya dengan tidak bertanggungjawab mengebom Indonesia.
Pendiri NU, KH Hasyim Asy Ari adalah juga pendiri Republik yang diteruskan oleh Wahab Hasbullah. Setelah kemerdekaan Wahid Hasyim dan Abdurrahman Wahid adalah tokoh-tokoh Nasionalis dan patriot sejati. “Maka siapapun yang mengusik Indonesia sama saja mengusik NU, dan NU harus bangkit,” ajaknya.
Setelah 85 tahun NU berdiri berada pada titik kemapanan. Pada usia ini selain banyak mendapatkan godaan dan tantangan juga pada masa yang melenakan. “Kenapa banyak yang tidak bangkit, karena banyak yang terlena dengan asyik dalam tidurnya,” seloroh Gus Mus.
Untuk itu, dia mengajak seluruh warga NU untuk kembali bangkit terus. Perintisan generasi terus ditumbuhkembangkan demi tetap tegaknya paham ahlus sunah waljamaah dan tetap kokohnya NKRI.
Sementara Pkengasuh Pesantren Al Falah KH Mansyur Tarsudi mengajak pengurus NU kembali menghidupkan laelatul ijtima. Sehingga problema kehidupan Nahdliyin, bangsa dan negara bisa terpecahkan hanya ditingkatan anak ranting maupun ranting (desa).
Hadir dalam kesempatan tersebut ribuan warga Kecamatan Paguyangan, Rais Suriyah Pengurus Cabang (PC) NU Kabupaten Brebes KH Aminudin Mashudi dan Katib KH Nuriman Ali, Wakil Ketua Tanfidziyah PC NU Drs KH Sodikin Rachman, Sekretaris PCNU M Ali Nurdin dan Lakhmudin.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home