WING KARDJO
Tafakur ~ Wing Kardjo
7-7-7 itu saja tiap malam yang kuharapkan turun 7-7-7
itu saja doaku pada tuhan. Gambar-gambar berputar,
bar-bar-bar tak mau keluar. Bintang- bintang juga tak
mau herhenti beredar dalam garis horisontal/diagonal.
Kupanggili nenek-moyang dari istirahatnya yang
tenang agar menolongku menang bar-bar-bar
hati berdebar-debar. Walau bintang-bintang
berjatuhan dan 7-7-7 berbaris beraturan,
besok babak, baru berulang lagi di sini. Doa-doaku
kembali masuk putaran neraka. Panas nafsu
menang. Dingin takut kalah, berulang-ulang.
7-7-7 itu saja tafakurku 7-7-7
tiap malam penuh bintang
malang-melintang.
Mengenang Wing Kardjo
Jumat, 10/06/2011 - 14:47
ALHAMDULILLAH laman Mata Kata bisa hadir kembali kehadapan pembaca yang budiman. Dalam kesempatan kali ini, redaksi menyuguhkan sejumlah puisi yang ditulis oleh almarhum Wing Kardjo, salah seorang penyair kenamaan dari Kota Bandung, yang tidak hanya dikenal secara nasional, tetapi juga internasional.
Banyak para kritikus sastra menyebutkan bahwa sajak-sajak yang ditulis oleh Wing Kardjo, baik yang terkumpul dalam Selembar Daun (Pustaka Jaya, 1974), Perumahan (Budaya Jaya, 1975), Fragmen Malam (Pustaka Jaya, 1975) maupun dalam Pohon Hayat: Sejemput Haiku (Forum Sastra Bandung, Mei 2002) bernada simbolis. Lima sajak Wing Kardjo yang Anda baca di bawah ini, dikutip dari kumpulan puisi Pohon Hayat: Sejemput Haiku dan Fragmen Malam. Semua kumpulan puisi tersebut saat ini sudah sukar dicari.
Penyair kelahiran Garut 23 April 1937 ini, meninggal dunia di Jepang pada 19 Maret 2002. Jasadnya dikuburkan di TPU Cieunteung, Tasikmalaya berdampingan dengan makam ibunya tercinta. Dalam perjalanannya sebagai penyair, Wing tidak hanya menulis puisi bertema cinta dengan berbagai variasinya, tetapi juga mengungkap tema-tema kegelapan, yang ujung-ujungnya merindukan cahaya kehidupan yang bersumber dari Cahaya Yang Maha Hidup, Allah SWT. Selain itu mengungkap pula tema sosial.
Sebagai manusia, Wing bukan golongan penyair yang asyik dengan dirinya sendiri. Ia seperti juga almarhum Rendra senang berbagai ilmu, dan tidak pelit bila ditanya proses kreatif. Bagi Wing, ketika seorang penyair menulis puisi, maka apa yang ditulisnya itu merupakan sebuah dunia yang otonom, yang tidak harus patuh dan tunduk pada setumpuk nilai-nilai yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat bila dilanggar.
Untuk itu, tak aneh bila sajak-sajak Wing banyak menggali tema kegelapan, yang seluruh pusatnya bermuara pada tubuh perempuan dan nafsu. Sajak-sajak yang dikutip di bawah ini memang tidak bertema demikian. Sajak-sajak di bawah ini lebih mengungkap kekosongan rohani, yang merindukan nilai-nilai spiritual, untuk kehidupan yang abadi kelak. Lima sajak yang ditulisnya ini, semua ditulis di luar negeri, yakni di Jepang dan Paris, Sebagian hidup Wing memang dihabiskan di sana, dalam dunia belajar-mengajar.
Di Bandung, Wing punya teman seorang pelukis, yang juga sudah meninggal dunia, Rudy Pranadjaya. Bila ke Bandung Wing kerap menjemput saya untuk datang ke rumah Rudy Pranadjaya, lalu kemudian menjemput penyair Juniarso Ridwan. Setelah ngobrol sana-sini lalu mengembara menikmati dunia malam dengan segala romantikanya. Pengalaman semacam ini bagi Wing adalah sumber yang tiada habis digali untuk menulis puisi. Untuk itu, Wing selalu bilang bahwa di dalam sumber nilai yang negatif, selalu ada celah menuju nilai-nilai positif. Di dalam celah itulah cahaya religius memancar. “Jadi apa yang dinamakan religius itu luas maknanya,” kata Wing Kardjo saat itu. Nilai-nilai religius dengan demikian bisa kita cerap dalam lima puisi di bawah ini, yang ditulis Wing dengan kalimat yang sederhana, namun kaya makna. Selamat membaca. (Soni Farid Maulana/”PRLM”)***
Sajak-Sajak Wing Kardjo
PERUT
Hari melonjak
dalam perut sajak.
Sepi tak beranjak.
BAYANG
Di kelab malam
lampu dan bayang-bayang
Tak pernah tentram
RUMAH
Berumah tanah.
beratap langit, dua-
duanya pahit?
WAKTU
1
Aku makan
waktu. Aku
makan mimpi, aku
makan nasi lauk-pauk basi.
Minum racun
buah-buahan busuk
yang disisihkan Adam
dan Hawa di sisi senja,
Kala Tuhan
menenggelamkan
matahari dalam kelam
dan dosa
mengusir mereka
dari Sorga
2.
Andai mesti
suci mengapa manusia
tergoda, andai penuh cinta
mengapa mesti sepi dan sia-sia
Andai jasad fana
mengapa jiwa mesti
baka, andai hidup maya
mengapa mesti cari selamat.
Aku
hanya bisa
mencatat detik-
detik melompat
memohon
tobat
WING KARDJO lahir Garut 23 April 1937, dan meninggal dunia di Jepang pada 19 Maret 2002. Kumpulan puisinya yang sudah terbit Selembar Daun (Pustaka Jaya, 1974), Perumahan (Budaya Jaya, 1975), Fragmen Malam (Pustaka Jaya, 1975) dan Pohon Hayat: Sejemput Haiku (Forum Sastra Bandung, Mei 2002. Selain itu menulis pula sejumlah esai, dan novel pendek, semi biografi, terbit dengan judul Topeng.*
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home