Gulistan Saadi; Sumber Kearifan Dari Timur
Sa'di dari Syiraz adalah salah seorang di antara beberapa penyair Persia paling terkemuka. Karya-karyanya dibaca luas dan dikagumi baik di Timur maupun Barat selama berabad-abad sampai kini. Dari dua puluh karyanya Gulistan (Taman Bunga) merupakan karyanya yang paling populer di Persia di samping Bustan. Dia hidup sezaman dengan Jalaluddin Rumi. (1207-1273 M), penyair sufi Persia yang dianggap terbesar.
Abad ke-13 M, zaman ketika dua penyair besar itu hidup, merupakan zaman yang dilanda berbagai kesukaran dan bencana. Dua perang besar telah memporak-porandakan negeri-negeri Islam, termasuk Persia. Yang pertama ialah perang Salib yang meletus dalam beberapa gelombang dari abad ke-11 sampai akhir abad ke-13 M, dan yang kedua ialah serbuan tentara Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan dan Hulagu Khan yang terjadi secara beruntun. Sejak 1220 M sampai penghancuran Bagdad, ibukota kekhalifatan Abbasiyah, pada tahun 1256 M. Sa'di sendiri pernah ditawan oleh tentara Salib sebagaimana dituturkan dalam kisah 31 bab II Gulistan. Begitu pula dia menyaksikan dua kali kekejaman tentara Mongol, pertama ketika mereka menduduki propinsi Fars pada tahun 1226 M, sebagaimana dituturkan dalam pendahuluan bukunya itu.
Yang kedua Sa'di sedang berada di kota Bagdad ketika tentara Mongol menyerbu dan menghancurkan kota itu pada tahun 1256 M. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kekejaman tentar Hulagu Khan. Adalah suatu keajaiban saja yang membuatnya selamat dari cengkeraman pasukan Mongol. Dalam sebuah sajak panjang, dia menuturkan bagaimana tentara Hulagu Khan membunuh dan memotong kepala ribuan lelaki dan wanita, anak-anak dan orang dewasa, kemudian menumpuk bangkai mereka hingga menjelma sebuah bukit. Juga dituturkan bagaimana mereka menghancurkan istana, masjid, gereja, sinagog, madrasah, universitas dan perpustakaan-perpustakaan yang banyak terdapat di kota Bagdad. Jutaan buku pengetahuan yang dikumpulkan selama berabad-abad musnah seketika, dibakar dan dibuang ke sungai Trigis. Harta benda yang berharga, ribuan intan permata berharga dan berton-ton emas dijarah dan diangkut dengan ratusan gerobak. Setelah puas mereka berpesta pora. Ribuan wanita muda yang cantik dikumpulkan di lapangan dan diperkosa.
Namun segala bentuk kekacauan, bencana, keganasan dan penghancuran yang melanda negeri Islam itu tidak menghalangi bangkitnya semangat baru dalam jiwa kaum muslimin. Karya-karya besar di bidang sastra, pemikiran keagamaan dan tasawuf ditulis kembali. Dari rerontok peradaban yang luluh lantak disebabkan invasi tentara asing, sebuah peradaban baru dibangun kembali oleh umat Islam dengan susah payah.
Annemarie Schimmel menulis dalam kata pengantar bukunya The Triumphal Sun: A Study of the Work of Jalaluddin Rumi (1980:9) sebagai berikut: "Cukup mengherankan periode yang penuh bencana politik ini pada saat yang bersamaan merupakan periode yang penuh dengan kegiatan keagamaan dan tasawuf. Gelapnya kehidupan duniawi ditindakbalas dengan maraknya kegiatan spiritual yang entah apa sebabnya. Nama sejumlah penyair, sarjana, seniman kaligrafi terkemuka bermunculan, namun abad itu terutama sekali merupakan zaman pemuka tasawuf...pendek kata, hampir di setiap pelosok dunia Islam dijumpai wali-wali, guru kerohanian, penyair-penyair dan pemimpin besar ilmu tasawuf. Di tengah gelapnya kehidupan politik dan ekonomi, merek tampil membimbing khalayak ramai menuju dunia yang tidak terganggu oleh perubahan, menyampaikan kepada mereka rahasia cinta yang harus dicapai melalui penderitaan, dan mengajarkan bahwa kehendak Tuhan dan cinta-Nya dapat tersingkap melalui bencana dan kemalangan..."
Mungkin agak mengherankan di tengah krisis besar yang dihadapi masyarakatnya, Sa'di memberi judul yang romantik dari bukunya, Gulistan yang artinya Taman Bunga. Tetapi dalam tradisi sastra Islam Persia, yang sejak abad ke-12 M begitu diresapi pemikiran tasawuf, judul seperti itu mengandung makna simbolik yang dalam, bukan sekedar khayalan atau pun pelarian dari kenyataan hidup yang pahit.
Jika membaca dengan seksama bab-bab dalam Gulistan, sebagaimana juga bab-bab dalam Bustan, serta menyimak untaian kisah aneka ragam yang terdapat di dalamnya; kita akan memasuki pintu-pintu yang membuat iman dan cinta kita kembali hidup. Menurut Sa'di hanya melalui jalan cinta dan iman seseorang dapat memetik hikmah dan pengetahuan tertinggi, yang dengan itu seseorang memperoleh pencerahan dan menyaksikan luasnya kasih sayang Tuhan. Juga menurut Sa'di hanya melalui perbaikan pikiran dan moral, masyarakat yang sedang sakit disebabkan berbagai krisis dapat dipulihkan kembali menjadi masyarakat yang beradab dan bermartabat. Karena itu tidak mengherankan apabila dalam bab I Sa'di membahas akhlak-akhlak raja-raja, pemimpin dan para pembesar negeri, sedang dalam bab VIII yang meruapakan bab terakhir pengarang menguraikan manfaat pendidikan dan adab.
Sa'di sendiri menuturkan latar belakang penulisan bukunya itu dengan penuh kearifan. Katanya dalam Mukadimah Gulistan. "Aku berniat menulis kitab untuk menghibur mereka yang membacanya, dan sebagai pedoman bagi siapa saja yang menginginkan Tamang Bunga, Gulistan, yang daun-daunnya tak tersentuh kesewenang-wenangan pergantian musim, dan kecemerlangan sinarnya abadi, tak dapat dirubah oleh musim gugur." Selanjutnya Sa'di mengatakan, "Apa artinya seikat bunga untukmu? Ambillah sehelai daun dari Gulistan-taman bungaku. Sekuntum kembang biasanya hanya bertahan lima enam hari. Tetapi bunga-bunga dalam Gulistan akan senantiasa berkilauan cahayanya."
Dalam khazanah sastra Islam persia kepopuleran Gulistan tak dapat disangkal lagi, menyamai kepopuleran Syah Namah (1002 M) karya Ferdowsi, Mantiq al-Tayr karya Fariduddin al-Atthar (1127-1226 M) dan Matsnawi-i Ma'nawi karya Jalaluddin Rumi(1207-1273 M). Sebagai karya yang ditulis dalam campuran puisi dan prosa puisi, gaya dan susunan penulisannya tidak jauh berbeda dengan Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) yang dimulai dengan pujian-pujian dan munajat panjang yang indah, suatu hal yang lazin dalam tradisi sastra Islam di mana pun. Corak penulisannya mengingatkan setidak-tidaknya pada tiga sumber; cerita berbingkai seperti Khalilah wa Dimnah karya Ibn al-Muqaffa' (w. 752 M) Maqamat (abad ke-10 M) karya Badi'uzzaman al-Hamadhani dan Mantiq al-Tayr.
Cerita berbingkai telah banyak diketahui, dalam suatu cerita terdapat banyak cerita, dan antara cerita-cerita yang ada di dalamnya dikaitkan oleh satu kepentingan. Maqamat di lain hal merupakan himpunan kisah-kisah pendek yang diselipi kearifan. Kisah-kisah itu biasanya ditulis berdasarkan kenyataan sosial yang dialami pengarang. Dalam Maqamat pengarang menghadirkan seorang narator sebagai tokoh sentral penyaji kisah. Setiap kisah sering diakhiri dengan bait-bait sajak yang mengandung renungan. Tetapi berbeda dengan cerita berbingkai, kisah-kisah dalam Maqamat dibiarkan tidak berhubungan satu dengan yang lain.
Sa'di dalam Gulistan menggabungkan kedua tradisi penulisan itu dan mengikat kisah-kisah di dalamnya dalam bingkai pemikiran sufi tentang pentingnya cinta dan adab dalam membangun masyarakat beriman. Seperti karya para penulis sufi – ambil contoh misalnya Mantiq al-Tayr al-Atthar dan Matsnawi-i Ma'nawi Rumi – pengarang menebarkan gagasannya dalam berbagai kisah dan untaian sajak. Kisah-kisah yang berbeda di dalamnya bisa berdiri sendiri, namun sebenarnya juga diikat oleh suatu kesatuan gagasan. Contoh serupa juga terdapat pada alegor-alegori sufistik Suhrawardi al-Maqtul, tokoh filsafat ‘Isyraqiyah abad ke-12 M.
Jika ditelusuri secara teliti pola penyampaian kisah semacam itu sebenarnya diilhami, terutama oleh pola pengisahan dalam al-Quran. Sebagai teks suci al-Quran memang tidak seperti karya satra yang lazim, khususnya struktur penyampaian kisah-kisah yang terdapat di dalamnya.
Dalam strukturnya al-Quran mencampur aspek-aspek pembicaraan dan pengisahan tentang peristiwa yang telah silam, sedang terjadi dan akan terjadi. Setiap ayat merupakan unit yang berdiri sendiri dan sekaligus saling berkaitan dengan unit yang lain.
Selain itu al-Quran mengandung banyak kisah dan alegori, yang masing-masing disampaikan secara khusus dan menarik. Kisah tentang tokoh yang sama, misalnya nabi-nabi sering ditebar dalam banyak ayat. Semua itu mendorong dan mengilhami lahirnya genre-genre baru dalam kesusastraan Islam baik dalam bahasa Arab, persia, Turki, Urdu, Shindi, Melayu, Swahili dan lain-lain. Ada kisah yang disampaikan secara ringkas, ada yang disampaikan agak panjang dan sangat panjang seperti kisah Nabi Yusuf as dalam surat Yusuf. Kisah Nabi Musa as yang sangat luas konteks dan moralnya ditebar dalam ayat dan surat yang berbeda-beda. Di antara konteks hikmah dan moralnya luas ialah kisah Nabi Musa as dalam surat a-Kahfi, yang di situ dia ditampilkan bersama guru rohaniahnya yang biasa dikenal sebagai Nabi Khaidir as.
Sa'di al-Syirazi – nama sebenarnya Musharifuddin bin Muslihuddin Abdullah – lahir pada tahun 1184 M di Syiraz, kota yang penuh dengan taman bunga yang indah di Iran, dan wafat pada tahun 1291 M di kota yang sama. Sejak abad ke-12 M sampai abad ke-19 M kota Syiraz merupakan salah satu pusat kebudayaan Islam yang penting di Persia. Banyak ilmuwan, sastrawan, ulama dan cendikiawan dilahirkan di situ. Yang masyhur di antaranya adalah Hafiz, penyair yang dikagumi di Timur maupun Barat. Takhallus atau nama gelarannya, yaitu Sa'di yang digunakan dalam karya-karyanya, diambil dari nama atabeq (gubernur) propinsi Fars, Abu Shuja' Sa'd bin Sangi (w. 1226) yang menjadi pelindungnya dan wafat ketika tentara Mongol menyerbu wilayah di timur laut Iran itu.
Sejak kecil Sa'di telah yatim. Ayahnya meninggal pada waktu dia berusia 6 tahun. Kesedihannya menjadi anak yatim dituturkan dalam sebuah sajaknya yang masyhur dan banyak dikutip orang. Sajak Sa'di itu misalnya dipahatkan pada batu nisan seorang muslimah Pasai di Aceh, yaitu Naina Husamuddin yang meninggal dunia pada akhir abad ke-14 hanya selisih seratus tahun setelah penyairnya meninggal dunia.
Sebagai anak yatim Sa'di terkenal tabah menghadapi berbagai kesukaran. Dia berjuang keras mendapat pendidikan terbaik pada zamannya. bersama ibunya, mula-mula dia mendapat perlindungan dari seorang pemimpin kabilah Arab yang dermawan. Setelah Sa'di besar, ayah angkatnya mengirim Sa'di ke Bagdad untuk melanjutkan pelajaran di Universitas nizamiyah yang terkenal dan didirikan para akhir abad ke-11 M oleh Nizam al-Mulk, seorang wazir terpandang pada masa pemerintahan Malik Syah dari Dinasti Saljug. Pada tahu 1210 dia memulai pengembaraannya ke Kasygar di Asia Tengah yang berbatasan dengan negeri Cina.
Di Bagdad dia menjadi anggota tarekat Qadiriyah dan berguru kepada sufi dan filosof terkemuka Syeikh Syihabuddin al-Suhrawardi (w. 1234 M). Sedangkan gurunya di Universitas Nizamiyah yang sangat dia kagumi ialah Syamsudin Abu al-Faraq ibn al-Jauzi, seorang ahli agama dan sarjana sastra yang terkenal. Kehidupannya bersama guru-gurunya itu direkam dalam Bustan.
Masa-masa hidup Sa'di selama di bawah lindungan pemimpin kabilah Arab sampai tahun 1226 M penuh ketenangan dan kebahagiaan. Tetapi sesudah itu, sampai pada tahun 1256 M, membentang masa-masa panjang penuh kesukaran. Hal ini terutama disebabkan peperangan dan penaklukan besar-besaran tentara Mongol terhadap hampir semua wilayah kaum muslimin. Ketika pasukan Mongol menyerbu Bagdad, Sa'di kebetulan sedang berada di kota itu. Setelah dapat menyelamatkan diri dia mengembara ke banyak negeri seperti Somnath, Punjab, Gujarat, Ghazna (semuanya di India) kemudian Balkh, Herat, Yaman, Hijaz, Yerusalem, Mesir, Maroko, Balkan, Mediteranian, Khasygar, Cina dan Anatolia (Turki sekarang). Jalan darat banyak yang dilalui dan jalan laut banyak pula yang dilayari.
Kadang-kadang selama pengembaraannya itu dia berpakaian sebagai seorang darwish (sufi pengembara) dan bercampur baur dengan rakyat jelata. Kadang-kadang berkumpul dengan para saudagar dan mengikuti kafilah di gurun pasir. Sa'di pernah pula bekerja sebagai tenaga kasar di kibbutz orang Yahudi dan pernah ditawan oleh tentara Perancis yang memimpin pasukan perang Salib di Yerusalem. Di India, dia pernah dikejar oleh para pencuri patung emas di candi Somnath.
Pada tahun 1256 M Sa'di kembali ke Syiraz dan memperoleh perlindungan dari Abu Bakar ibn Sa'd ibn Zangi, cucu pelindung Sa'di sebelumnya Abu Shuja' Sa'd ibn Zangi, yang menjadi atabeq propinsi Fars antara tahun 1231-1260 M. Di bawah lindungan atabeq muda ini Sa'di menyelesaikan dua karya masterpiece-nya Bustan dan Gulistan. Kedua karyanya itun dipersembahkan sebagai kenangan dan penghargaan kepada atabeq yang murah hati dan menghargai para seniman dan cendikiawan.
Sa'di meninggal dunia dalam usia yang sangat tua pada tahun 1291 M di Syiraz. Pada waktu itu sudah banyak bangsawan dan pemimpin bangsa Mongol memeluk agama Islam. Penguasa Mongol di Persia yang pertama kali memeluk agama Islam ialah sultan Ahmad Taqudar (1282-1284 M).
Pada tahun 1294 M, tiga tahun setelah Sa'di meninggal dunia seluruh orang Mongol di Persia dan Iraq memeluk agama Islam dengan dipelopori oleh pemimpin mereka yang saleh dan taat beribadah Sultan Ghazan (1294-1304 M) dan Uljaytu Khuda-Banda (1305-1316 M). Peranan ulama ahli tasawuf dan sastrawan sufi sangat besar dalam meyakinkan kebenaran risalah Islam kepada pemimpin Mongol.
Sebagai seorang terpelajar Sa'di juga mendalami tasawuf dan cenderung berpikiran sufistik. Namun berbeda dengan rekan-rekannya senegeri dan sezaman seperti jalaluddin Rumi, Ruzbihan al-Baqli dan lain-lain yang corak sufistik karya-karyanya sangat kental; Sa'di lebih menumpuhkan perhatian pada masalah etika atau filsafat moral. Pengalaman hidupnya yang pahit sangat mempengaruhi penulisan karya-karyanya. Dia banyak menyaksikan rakyat kebanyakan serta berbagai penyelewengan dan kezaliman penguasa yang otoriter. Dia juga sering menyaksikan peperangan yang ditimbulkan oleh ulah pemimpin yang rakus akan kekuasaan, yang membuat rakyat menderita. Walaupun demikian tema karya-karya Sa'di secara keseluruhan tetap memperlihatkan hubungan dengan gagasan para sufi.
Sa'di menulis tidak kurang dari 20 buku, di antaranya ialah Kulliyat (antologi prosa dan puisi) Pand-namah, Risalat, Bustan dan Gulistan. Para sarjana kesusastraan persia menyebutkan beberapa ciri karya Sa'di, khususnya Gulistan, sebagai berikut:
1. Karya sa'di merupakan untaian kisah-kisah perumpamaan yang disadur dari sumber-sumber al-Quran, sejarah Persia dan pengalaman pribadinya selama menjelajahi berbagai negeri. Ke dalam kisah-kisah yang ditulisnya itu Sa'di memasukkan hikmah, sindiran, ejekan (hija'), kriktik sosial dan sejenisnya yang ditujukan terutama kepada raja-raja, para menteri dan tokoh-tokoh masyarakat yang korup, dan tidak becus menjalankan tugas serta kewajibannya sebagai pemimpin.
2. Dalam Gulistan terdapat banyak humor, suatu hal yang berbeda dengan karyanya terdahulu Bustan.
3. Karya Sa'di pada umumnya bercorak didaktis.
4. Semangat karyanya, khususnya Gulistan, romatik.
5. Nilai moral dan pesar kerohanian karya Sa'di didasarkan atas ajaran Islam, khususnya sebagaimana dikemukakan ahli tasawud dan ulama madzab Sunni. Jadi tidak didasarkan semata-mata atas imajinasinya.
Menurut Sa'di berbuat baik kepada sesama manusia, tanpa memandang warna kulit, ras dan agamanya yang dipeluknya, sebenarnya sama dengan menjalankan kewajiban agama. Nilai agama yang sebenarnya, menurutnya lagi, dijumpai dalam amal perbuatan seseorang di tengah pergaulan sosialnya, tidak semata-mata dalam untaian tasbih, sajadah dan jubah. Satu bait puisinya di bawah ini akan sukar dilupakan:
Segenap ras manusia adalah anggota sebuah keluarga besar
Di atas segalanya mereka berasal dari hakikat yang sama
Jika kau tak pernah merasakan derita orang yang tertindas dan teraniaya
Tidak patutlah kau disebut sebagai keturunan Adam
Karena bobot sastra dan kedalaman kandungan hikmahnya, karya Sa'di dikaji oleh banyak sarjana baik di negerinya sendiri, maupun di negeri lain di Timur maupun Barat. Dalam bukunya Grammar of The Persian Language (1824) Sir William Jones mengatakan bahwa Gulistan merupakan salah satu buku paling baik bagi mereka yang mempelajari bahasa Persia. Penyair-filosof Amerika terkemuka akhir abad ke-19 Ralph Waldo Emerson sangat mengagumi karya Sa'di, dan menyebutnya sebagai salah satu karya masterpiece dari Timur yang tak ada padanannya di Barat.
Setelah membaca terjemahan Gulistan dalam bahasa Inggris oleh francis Gladwin, Emerson mengatakan antara lain, "Walaupun sebagai penyair lirik tidak sekuat Hafiz, namun dia memikat dengan cara lain yaitu kecendikiaan, hikmah dan sentimen moralnya. Dia memiliki naluri mengajar pembacanya secara halus... Dia adalah penyair terkemuka tentang persahabatan yang hangat, cinta, rasa percaya diri yang mendalam dan ketulusan hati." Selanjutnya Emerson mengatakan, "Sa'di berarti keberuntungan. Dalam karyanya dia menekankan kesejagatan hukum moral." (lihat A. J. Arberry, Classical Persian Literature, London, 1958: 200-1).
Penyair Iran terkemuka awal abad ke-20, yang juga ahli sastra Persia, Muhammad Taqi Bahar mengemukakan bahwa karya-karya Sa'di sebelum Bustan dan Gulistan, kurang begitu orisinal dilihat dari gaya bahasa atau ungkapan estetik sastranya. Dalam Risalat misalnya, gaya beberapa penulis sufi Persia sebelumnya dan sezaman, seperti Khojeh Abdullah Anshari, Ali Utsman al-Hujwiri, Samsuddin Jawaini dan lain-lain. Bahkan bab lain Risalat mirip dengan gaya Rumi dalam Fihi Ma Fihi. Tetapi Gulistan, kata Taqi Bahar, benar-benar merupakan karya orisinil baik puitika dan estetika, maupun gagasan kerohanian dan moralnya.
Menurut Taqi Bahar, sebagai karangan prosa yang diselingi puisi, adalah satu tipe dengan Maqamat karya Hamidi dan Badiuzzaman al-Hamadhani. Sedangkan pola rima dan persajakannya mengingatkan pembaca pada pola rima ayat-ayat al-Quran. Menggarisbawahi pendapat Taqi Bahar, A.J.Arberry mengutip gaya bahasa Sa'di dalam kisah bab 35 bab I Gulistan.
Bataifa-yi buzurgan ba-kashri dar nishasta budam: zauraqi dar pay-i ma gharq shud : du baradar ba-girdabi dar uftadand : yaki az buzurgan gufi mallah-ra ki bigir inhar duvan-ra ki ba-har yaki panjah dinarat diham : mallah dar ab uftad : ta yaki-ra bi-rahanid digar halak shud : guftam baqiyat-i umrash mamanda bad az in sabab dar giriftan-i u ta'khir kard u dar an digar ta'jil : mallah bi khandid u gufi anchi tu gufti yaqin ast u dugar mail-i khatir ba-rahanidan-i in bishar bud ki vaqti dar biyabani manda budam u mara bar shuturi nishanda u zi dast-i an digar taziyana-i khvurda am dar tifli : gftam sadaqa'llahu man amila salihan fa-li-nafsihi wa-man asa'a fa-‘alaiha.
Aku sedang menumpang sebuah kapal bersama kumpulan orang-orang terhormat manakala sebuah sampan yang membawa dua orang kakak beradik nyaris karam dekat kami. Seorang dari kami menjanjikan saratus dinar kepada nelayan jika dapat menyelamatkan mereka berdua. Kukatakan pada si nelayan, "Dia takkan bertahan lama sebab kau terlambat menolong!"
Nelayan itu tersenyum, "Kau benar. Sesungguhnya aku lebih suka menolong orang ini, sebab saat aku tertinggal di gurun dulu, dia mendudukkan aku di punggung unta, sedangkan tangan orang yang satunya lagi mencambukku berkali-kali."
Ketika aku masih teringat kata-kata hikmah, "Siapa saja yang melakukan kebajikan samalah dia dengan menyelamatkan jiwanya sendiri dan siapa saja yang melakukan kejahatan dia akan mendapatkan ganjaran pula."
Pada akhirnya akan kami akhiri tulisan ini dengan terjemahan salah satu sajak Sa'di yang terpahat pada batu nisan makam Naina Husamuddin di Pasai yang wafat pada akhir abad ke-14 M sebagaimana telah dikemukakan.
Ini untuk sedekar menunjukkan bahwa enam abad yang silam terdapat kemunitas Muslim Nusantara yang telah mengapresiasi karya-karya agung sastrawan Muslim Persia, khususnya Sa'di:
Tak terhitung tahun-tahun melewati bumi kita
Bagaimana mata air mengalir dan hembusan angin
Apabila hidup hanya himpunan hari-hari manusia
Mengapa yang singgah sesaat di bumi ini angkuh dan sombong?
Sahabat, jika kau melalui makam seorang musuh
Janganlah bergembira, sebab hal serupa akan menimpa dirimu juga
Wahai kau yang bercelak mata kesombongan, debu ‘kan menyusup'
Merasuki tulang belulang bagaikan pupur dan bedak
Memasuki kotak tempat penyimpanannya.
Siapa pun yang pada hari ini bersombong dengan hiasan bajunya
Kelak debu tubuhnya yang terbujur hanya tinggal menguap.
-- Dunia ini penuh persaingan sengit, sedikit kasih saya dijumpa –
Ketika ia sadar bahwa seluruh peristiwa yang dilaluinya pergi
Baru diketahuinya bahwa ia pergi meninggalkan dirinya yang tak berdaya.
-- Demikian keadaan jasad itu sesungguhnya:
Tak ada yang menolongnya selain amal saleh,
karena itu
Di bawah naungan Tuhan Yang Maha Pengasih
Sa'di berlindung!
Pada batu nisan yang sama terpahat sebuah ayat al-Quran surat al-Baqarah 256, yang artinya kurang lebih: "Telaj jelas jalan yang benar di sisi jalan yang salah. Karena itu siapa saja yang mengingkari Thagut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang pada tali Allah..."
Akhirul kalam, dengan segala kekurangannya terjemahan karya Sa'di yang tersaji di hadapan pembaca niscaya bermanfaat sebagai wacana dan bahan renungan. Ia merupakan salah satu contoh saja dari banyak karya penulis Muslim yang relevan, yang juga merupakan salah satu sumber penting dari kearifan Timur yang tak ternilai harganya. Sebagai karya sastra, wawasan estetika yang dituangkan dalam Gulistan, merupakan sumber penting rujukan bagi mereka yang ingin mengetahui apa dan bagaimana kesusastraan Islam. (IRIB Indonesia)
Sumber: Pengantar Gulistan, Taman Kearifan dari Timur, Navila, Cet 2, 2002.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home